Rabu, 08 Februari 2012

Fiqh Muamalah


Oleh : Moh. Mukhlas Hadi 

PEMBAHASAN
1.      JUAL-BELI
1.1  Pengertian Jual-beli
Perdagangan atau jual beli dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-bai’, al-tijaroh, atau al-mubadalah. Sebagaimana firman Allah SWT :
šcqã_ötƒ Zot»pgÏB `©9 uqç7s?
Artinya : “Mereka mengharapkan tijaroh (jual-beli) yang tidak akan rugi.” (QS. Fathir : 29)
Secara bahasa, jual beli atau al-bai’ berarti muqobalatu syai’im bi syain (مقابلة شئ بشئ) artinya adalah menukar sesuatu dengan sesuatu.
Al-Imam An-Nawawi didalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab menyebutkan jual-beli adalah (مقابلة مال بمال تمليكا) yang berarti tukar menukar harta dengan harta secara kepemilikan.
Ibnu Qudamah didalam Al-Mughni menyebutkan bahwa jual-beli sebagai (مبادلة المال بالمال تمليكا وتملكا) yang artinya pertukaran harta dengan harta dengan kepemilikan dan penguasaan.
Sehingga bisa disimpulkan  bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah “menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan  jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
1.2  Dasar Hukum Jual-beli
Jual beli dibolehkan didalam islam berdasarkan firman Allah dan sunnah rasul-Nya serta ijma’ dari seluruh umat islam. Firman Allah SWT :
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan riba.(QS. Al-Baqoroh : 275)
Serta dasar dari hadits :
وعن ابن عمر رضي الله عنه عن رسول الله قال : إذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعا أو يخير أحدهما الاخر فإن خير أحدهما الاخر فتبايعا علي ذلك فقد وجب البيع وإن تفرقا بعد أن تبايع ولم يترك واحد منهما البيع فقد وجب البيع.(متفق عليه)               
Artinya : “Dari Ibn Umar r.a bahwa Rosulullah saw bersabda : “Apabila dua orang melakukan jual beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan meneruskan jual beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama, atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah seorang menentukan khiyar kepada yang lain, lalu mereka jual beli atas dasar itu, maka jadilah jual beli itu.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
1.3  Hukum Jual-beli
Secara asalnya, jual beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan al-Imam Asy-Syafi’I rohimahullah : dasarnya hukum  jual beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari dua belah pihak. Kecuali apabila jual beli itu dilarang oleh Rosulullah saw atau yang maknanya termasuk yang dilarang beliau.
1.4  Rukun Jual-beli
Sebuah transaksi jual beli membutuhkan adanya rukun sebagai penegaknya. Dimana tanpa adanya rukun, maka jual beli itu menjadi tidak sah hukumnya. Rukun jual beli ada tiga perkara, yaitu :
·         Adanya pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi syarat,
·         Adanya akad atau transaksi, dan
·         Adanya barang atau jasa yang diperjual belikan.
a.       Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan transaksi muamalah. Dan ahliyah iru berupa keadaan pelaku yang harus berakal dan baligh. Dengan rukun ini maka jual beli tidak memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk orang yang kurang akalnya (idiot).
Sebagai mana dibolehkan jual beli dengan bantuan anak kecil sabagai utusan, tapi bukan sebagai penentu jual beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah took, jual beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau suruhan saja. 
b.      Adanya Akad dan Transaksi
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam jual-beli. Akad itu seperti : “aku jual barang ini kepada anda dengan hargaRp. 10.000,” lalu pembeli menjawab : “aku terima.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya. Namun, ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan system mu’athaah (          معاطاه) yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
c.       Adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi sah secara syari’ah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
1.      Suci
Benda yang diperjual-belikan harus benda yang suci dalam artian bukan benda najis atau mengandung najis. Diantara benda najis yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging babi, khamr, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan, dan lainnya.
Dasarnya adalah sabda Rosulullah saw :
عن جابربن عبد الله رضي الله عنه أنه سمع رسول الله يقول عام الفتح وهو بمكة : إن الله ورسوله حرم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام                                 
Artinya : Dari Jabir Ibn Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rosulullah saw. bersabda di Makkah pada tahun penaklukan kota itu : “Sesungguhnya Allah dan Rosul-Nya melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala.”(HR. Muttafaq ‘Alaih)
2.      Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia. Oleh karena itu, para ulama As-Syafi’I menolak jual-beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular, atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak, dan lain sebagainya.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan orang dari dzikrullah, seperti alat music. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jual-beli alat music itu bathil. Karena alat music itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfaatkan alat music kecuali ahli maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab, dan lainnya.
3.      Dimiliki oleh penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau wakil. Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim maupun bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain. Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi, dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu bathil. Karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah :
“Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya.”(HR. Tirmidzi – hadits hasan)
Walaupun banyak yang mengkritik bahwa periwayatan hadits ini lemah, namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi shahih.
Dalam pendapat Qadimnya, Al-Imam Asy-Syafi’I membolehkan jual-beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu tidak setuju, maka jual beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah dianggap sah. Dalilnya dari hadits berikut :
‘Urwah ra. Berkata, “Rosulullah saw memberi aku uang satu dinar untuk membelikan beliau seekor kambing. Namun aku belikan untuknya dua ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga satu dinar. Lalu aku menghadap Rosulullah saw dengan seekor kambing dan uang satu dinar sambil aku ceritakan kisahku.” Beliau pun bersabda, “semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu.” (HR. Tirmidzi dengan sanad yang sahih).
4.      Bisa diserahkan
Menjual unta yang hilang termasuk akad yang tida sah, karena tidak jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak. Demikian juga tidak sah menjual burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara fisik maupun secara hukum.
Demikian juga ikan-ikan yang berenang bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali setela ditangkap atau bisa dipastikan penyerahannya.
5.      Harus diketahui keadaannya
Barang yang tidak diketahui keadaannya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya.
Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat meski hanya sample oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung. Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa ditetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern dan dunia industry, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui kadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa teknik, misalnya :
·         Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya konsumsi listrik dan lain sebagainya,
·         Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang,
·         Garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.
2.      RIBA
2.1  Pengertian Riba
Secara bahasa riba berarti tambahan (ziyadah). Dan secara istilah berarti tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta. Sebagian ulama ada yang menyandarkan definisi riba pada hadits yang diriwayatkan al-Harits bin Usamah.
Dari Ali bin Abi Thalib, yaitu bahwa Rasulullah saw bersabda : “Setiap hutang yang menimbulkan manfaat adalah riba.”
Pendapat ini tidak tepat, karena hadits ini sanadnya lemah sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Jumhur ulama tidak menjadikan hadits ini sebagai definisi riba, karena tidak menyeluruh dan tidak lengkap, disamping itu ada manfaat yang bukan riba yaitu jika pemberian tambahan atas hutang tersebut tidak disyaratkan.
2.2  Hukum Riba
Riba memiliki sejarah yang sangat panjang dan prakteknya sudah dimulai semenjak bangsa yahudi sampai masa jahiliyah sebelum islam dan awal-awal masa ke-islaman. Padahal semua agama Samawi mengharamkan riba karena tidak ada kemaslahatan sedikit pun dalam kehidupan bermasyarakat. Allah swt berfirman :
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rߊ$yd $oYøB§ym öNÍköŽn=tã BM»t7ÍhŠsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZŽÏWx. ÇÊÏÉÈ ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJŠÏ9r& ÇÊÏÊÈ
Artinya : “Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”(QS. An-Nissa’ : 160-161)
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 ..
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengaramkan riba.”(QS. Al-Baqoroh : 275)
Hadits Nabi saw :
عن عبد الله بن حنظلة غسيل الملائكة قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم درهم ربا يأكله الرجل وهو يعلم أشد من ست وثلاثين زينة (رواه احمد)                                                
Artinya : Dari Abdullah bin Hanzhalah ghosilul malaikah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan sadar, jauh lebih dahsyah dari pada 36 wanita pezina.”(HR. Ahmad)
Jadi, berdasarkan Firman Allah swt dan hadits, maka riba hukumnya haram.
2.3  Macam-macam Riba
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba al-Fadhl dan riba an-Nasa’. Sedangkan Imam as-Syafi’i membaginya menjadi tiga, yaitu riba al-Fadhl, riba an-Nasa’ dan riba al-Yadd. Dan al-Mutawally menambahkan jenis ke-empat, yaitu riba al-Qardh. Semua jenis riba ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu riba hutang-piutang  dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok yang kedua, yaitu riba jual-beli, terbagi menjadi riba Fadhl dan riba Nasi’ah.
a.       Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
b.      Riba Jahiliyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
c.       Riba Fadhl
Riba Fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda. Dan jenis barang yang dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan barang ribawi.
Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya terbatas emas, perak, gandum, terigu, kurma, dan garam saja.
Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, kurma dengan kurma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai.”(HR. Muslim)
Di luar ke-enam jenis barang tersebut tentu boleh terjadi penukaran barang sejenis dengan kadar dan kualitas yang berbeda. Apalagi bila barang itu berlainan jenisnya, tentu lebih boleh lagi.
d.      Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah disebut juga riba jahiliyah. Nasi’ah berasal dari kata nasa’ yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak lain dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya, melainkan juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Contoh, Ahmad ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar 144 juta dengan bunga 13 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya. Maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syari’at islam.
3.      ROHN
3.1  Pengertian Rohn
Secara bahasa, rohn atau gadai berasal dari kata ats-tsubutu yang berarti tetap dan ad-dawamu yang berarti terus menerus. Sehingga air yang diam tidak mengalir dikatakan sebagi maun rohin. Pengertian secara bahasa tentang rohn ini juga terdapat dalam firman Allah swt :
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ
Artinya : “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”(QS. Al-Muddatstsir : 38)
Adapun pengertian rohn atau gadai dalam ilmu fiqh adalah “menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh berpiutang (yang meminjamkan)”. Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu.
3.2  Unsur Rohn
Dalam praktek rohn, ada terdapat beberapa unsur :
a.       Ar-Rohin, yaitu orang yang menggadaikan barang atau yang meminjam uang dengan jaminan barang.
b.      Al-Murtahin, yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
c.       Al-Marhun atau Ar-Rohn, yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.
d.      Al-Marhun bihi, yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.
e.       Al-Aqdu, yaitu akad atau kesepakatan untuk melakukan transaksi rohn.
3.3  Rukun Rohn
Rukun rohn ada empat :
a.       Adanya lafadz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafadz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
b.      Adanya pemberi dan penerima gadai, pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan baligh sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at islam.
c.       Adanya barang yang digadaikan, barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai.
d.      Adanya hutang, hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.
4.      IJAROH
4.1  Hukum Ijaroh
Para fuqoha telah bersepakat tentang kebolehan hukum ijaroh ini dengan beberapa dalil dari Al-Qur’an dan juga dari sunnah nabawiyah. Namun sebagian kecil ulama ada juga yang mengharamkannya dengan beberapa alasan, diantara mereka misalnya Hasan Al-Basri, Abu Bakar Al-Asham, Ismail bin Aliyah, Ibn Kisan, dan lainnya.
Namun hajat semua orang yang sangat membutuhkan manfaat suatu benda, membuat akad ijaroh ini menjadi boleh. Sebab tidak semua orang bisa memiliki suatu benda, namun sudah pasti tiap orang butuh manfaat benda itu. Maka ijaroh dibolehkan, selain memang Allah swt telah memastikan kebolehan transaksi ijaroh, sebagaimana sejumlah keterangan dari Al-Qur’an dab As-Sunnah sebagai berikut :
 ÷bÎ)ur.... öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
Artinya : “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Baqoroh : 233)
Dari Hadits Nabi :
عن بن عباس رضي الله عنه قال : إجتحم رسول الله صلى الله عليه وسلم وأعطى الذي حجمه أجره (رواه البخاري)
Artinya : “Dari Ibn ‘Abbas ra berkata bahwa Rasulullah saw melakukan hijamah (berbekam) dan memberikan orang yang melakukannya upah atas kerjanya.”(HR. Bukhari)
4.2  Rukun Ijaroh
Jumhur ulama menetapkan bahwa sebuah akad ijaroh itu setidaknya harus mengandung empat unsur yang menjadi rukun. Dimana bila salah satu rukun itu kurang atau tidak terpenuhi maka akad itu menjadi cacat atau tidak sah. Ke-empat rukun tersebut adalah :
a.       Al-Aqidani (dua belah pihak), yang dimaksud adalah pihak yang menyewa atau musta’jir dan pihak yang menyewa atau muajjir. Keduanya adalah inti dari akad ini yang bila salah satunya tidak ada, misalnya tidak ada yang menyewa atau tidak ada yang menyewakan, tentu tidak bisa dikatakan akad sewa-menyewa.
b.      Shighat
c.       Pembayaran
d.      Manfaat
4.3  Objek Ijaroh
Ijaroh itu merupakan sebuah transaksi atau suatu manfaat. Dalam hal ini, manfaat menjadi objek transaksi. Dari segi ini, ijaroh dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, ijaroh yang mentransaksikan manfaat harta benda yang lazim yang disebut dengan persewaan. Misalnya, sewa-menyewa rumah, kendaraan, toko, dan lainnya. Kedua, ijaroh yang mentransaksikan manfaat SDM yang lazim yang disebut dengan perburuhan.
Tidak semua benda boleh diijarohkan, kecuali bila memenuhi syarat-syarat berikut ini :
a.       Manfaat objek akad harus diketahui dengan jelas.
b.      Objek ijaroh dapat diserah-terimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijaroh atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.
c.       Objek ijaroh dan pemanfaatannya harus tidak bertentangan dengan syariat.
d.      Yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda. Misalnya, menyewa motor untuk dikendarai. Tetapi sebaliknya, menyewa suatu benda untuk diambil hasil turunan dari benda tersebut tidak dibenarkan secara syariah. Misalnya, menyewa pohon untuk diambil buahnya.
e.       Harta benda yang menjadi objek ijaroh haruslah harta benda yang bersifat isti’mali, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang-ulang tanpa mengakibatkan kerusakan dan pengurangan sifatnya. Misalnya, menyewa tanah, menyewa kebun, mobil, dan lainnya. Sedangkan benda yang bersifat istihlaki atau benda yang rusak atau berkurang sifatnya karena pemakainnya, seperti minuman, makanan, atau buku tulis, tidak boleh disewakan.
Adapun ijaroh yang mentransaksikan suatu pekerjaan atas seorang pekerja atau buruh, harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
a.       Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaannya, misalnya bekerja menjaga rumah satu malam. Dan harus jelas jenis pekerjaannya, seperti pekerjaan menjahit baju, memasak, mencuci, dan lain sebagainya. Dalam hal yang disebutkan terakhir ini tidak disyaratkan adanya batas waktu pengerjaannya.
b.      Pekerjaan yang menjadi objek ijaroh tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak pekerja sebelum berlangsungnya akad ijaroh. Misalnya, membayar hutang.
Dari segi uang atau ongkos sewa, ijaroh harus memenuhi syarat berikut :
a.       Upah harus berupa mal mutaqawim, yaitu harta yang halal untuk dimanfaatkan. Dan besarnya harus disepakati secara jelas oleh kedua belah pihak. Sedangkan mempekerjakan buruh dengan upah makan merupakan contoh upah yang tidak jelas, karena mengandung unsur jahalah (ketidak-pastian). Ijaroh tersebut menurut jumhur ulama selain Al-Malikiyah, adalah tidak sah. Sedangkan fuqoha Al-Malikiyah menetapkan keabsahan ijaroh tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksud dapat diketahui berdasarkan kebiasaan.
b.      Upah itu harus berbeda dengan objek pekerjaan. Menyewa rumah dengan rumah lainnya, atau mengupah suatu pekerjaan dengan pekerjaan serupa, merupakan ijaroh yang tidak memenuhi syarat. Karena hukumnya tidak sah, karena dapat mengantarkan kepada riba.
5.      SALAM
5.1  Pengertian Salam
Istilah salam sering juga disebut dengan salaf. Di kebanyakan hadits nabawi, istilah yang nampaknya lebih banyak digunakan adalah salaf. Namun dalam kitab fiqh lebih sering digunakan salam.
Secara bahasa, salam adalah al-i’tha’ dan at-taslif. Keduanya bermakna pemberian.
Sedangkan secara istilah syariah, akad salam sering didefinisikan oleh para fuqoha secara umumnya menjadi (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا) jual beli barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Dengan bahasa yang mudah, akad salam itu pada hakikatnya adalah jual-beli dengan hutang. Tapi bedanya, yang dihutang bukan uang pembayaran, melainkan barangnya. Sedangkan untuk pembayarannya justru diserahkan tunai. Jadi akad salam ini kebalikan dari kredit. Kalau jual-beli kredit, barangnya diserahkan terlebih dahulu dan uang pembayarannya jadi hutang. Sedangkan akad salam, uangnya diserahkan terlebih dahulu sedangkan barangnya belum diserahkan dan menjadi hutang.
5.2  Pendapat Ulama tentang Salam
Ada beberapa pendapat menurut para ulama madzhab sesuai dengan syarat yang mereka ajukan. Setidaknya ada tiga pendapat :
a.       Pendapat Pertama
Menurut pendapat pertama, akad salam merupakan jual-beli yang uangnya dibayarkan sekarang sedangkan barangnya diserahkan kemudian.
Madzhab Hanafi dan Hambali yang diwakili oleh Ibnu “Abidin menyebutkan bahwa salam adalah (شراء اجل بعاجل), membeli sesuatu yang diberikan kemudian dengan pembayaran sekarang.
Maksudnya, salam adalah membeli sesuatu yang diserahkannya bukan saat akad dilangsungkan tetapi diserahkan kemudian. Ini menjadi syarat dari akad salam. Namun mereka menetapkan bahwa pembayarannya harus dilakukan saat itu juga, yakni saat akad dilangsungkan.
b.      Pendapat Kedua
Adapun madzhab Asy-Syafi’i, tidak mensyaratkan penyerahan sesuatu yang diperjual-belikan itu di kemudian hari atau saat itu juga. Yang lebih penting menurut mereka, penyerahan uang pembayarannya dilakukan saat akad. Pendapat kedua ini hanya mensyaratkan penyerahan uangnya yang harus saat akad. Adapun barangnya boleh langsung diserahkan ataupun bisa juga diserahkan kemudian.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin, Al-Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa akad salam itu adalah (عقد على موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا). Maksudnya, salam adalah sebuah akad atas suatu benda yang disebutkan sifatya dalam tanggungan dengan imbalan yang dilakukan pada saat itu juga. Dalam definisi ini tidak ada ketentuan bahwa barang itu harus diserahkan kemudian atau saat itu juga.
c.       Pendapat Ketiga
Sedangkan pendapat yang ketiga ini mensyaratkan barangnya diserahkan kemudian, bukan saat akad, sedangkan uangnya tidak disyaratkan harus diserahkan saat itu juga. Jadi intinya uang pembayarannya boleh diserahkan saat akad itu dilangsungkan atau pun boleh juga diserahkan kemudian.
Pendapat yang ketiga ini dikemukakan oleh madzhab Maliki sebagaimana tertera dalam kitab Idhahul Masalik Ila Al-Qowa’id Al-Imam Malik. Dalam kitab itu disebutkan bahwa :
بيع معلوم فى الذمة محصور بالصفة بعين حاضرة أو ما هو فى حكمها إلى أجل معلوم
Jual-beli barang yang diketahui dalam tanggungan yang sifatnya ditentukan, dengan pembayaran yang hadir (saat itu juga) atau dengan pembayaran yang berada dalam hukumnya, hingga waktu yang diketahui.
Penyebutan kalimat “dengan pembayaran yang berada dalam hukumnya”, mengisyaratkan tidak diharuskan pembayaran itu dilakukan saat akad, tetapi dibenarkan bila diserahkan 2 atau 3 hari kemudian setelah akad berlangsung.
Penyebutan kalimat “hingga waktu yang diketahui”, mengisyaratkan keharusan penyerahan barangnya bukan saat akad tetapi diserahkan di kemudian hari.
6.      ISTISHNA’
6.1   Pengertian Istishna’
Istishna’ (استسناع) adalah bentuk isim masdhar dari kata dasar istishna’a-yastashni’u (استسنع-يستسنع) artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Sedangkan menurut sebagian kalangan ulama dari madzhab Hanafi, istishna’ adalah (عقد على مبيع فى الذمة شرط فيه العمل). Artinya, sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu, “Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham.” Dan orang itu menerimanya, maka akad istishna’ telah terjadi dalam pandangan madzhab ini.
Senada dengan definisi di atas, kalangan ulama madzhab Hambali menyebutkan (بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم). Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna’ mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).
Namun kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengaitkan akad istishna’ ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu (الشئ المسلم للغير من الصناعات), yaitu suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.
Jadi secara sederhana, istishna’ boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesanan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak kedua membuatkan suatu barang yang sesuai dengan keinginan pihak ke-1 dengan harga yang telah disepakati oleh keduanya.
6.2   Rukun Istishna’
Akad istishna’ memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar terjadi :
a.       Kedua Belah Pihak
Kedua belah pihak maksudnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni’ (المستسسنع) sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan shani’ (الصانع).
b.      Barang Yang Diakadkan
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan madzhab Al-Hanafi.
Namun menurut sebagian kalangan madzhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.
c.       Shighah (Ijab Qobul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar