Oleh : Moh. Mukhlas Hadi
PEMBAHASAN
1. JUAL-BELI
1.1 Pengertian Jual-beli
Perdagangan atau jual beli dalam bahasa arab sering disebut dengan
kata al-bai’, al-tijaroh, atau al-mubadalah. Sebagaimana firman Allah SWT :
cqã_öt
Zot»pgÏB `©9
uqç7s?
Artinya : “Mereka
mengharapkan tijaroh (jual-beli) yang tidak akan rugi.” (QS. Fathir : 29)
Secara bahasa, jual beli atau al-bai’ berarti muqobalatu syai’im
bi syain (مقابلة شئ بشئ) artinya adalah menukar sesuatu dengan sesuatu.
Al-Imam An-Nawawi didalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab menyebutkan
jual-beli adalah (مقابلة مال بمال تمليكا) yang berarti tukar menukar harta dengan harta secara
kepemilikan.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan jual-beli adalah “menukar barang dengan barang atau
menukar barang dengan uang, yaitu dengan
jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas
dasar saling merelakan.”
1.2 Dasar Hukum Jual-beli
Jual beli dibolehkan didalam islam berdasarkan firman Allah dan
sunnah rasul-Nya serta ijma’ dari seluruh umat islam. Firman Allah SWT :
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan riba.” (QS.
Al-Baqoroh : 275)
Serta dasar dari hadits :
وعن ابن عمر رضي الله عنه عن رسول الله قال : إذا تبايع الرجلان فكل واحد
منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعا أو يخير أحدهما الاخر فإن خير أحدهما
الاخر فتبايعا علي ذلك فقد وجب البيع وإن تفرقا بعد أن تبايع ولم يترك واحد منهما
البيع فقد وجب البيع.(متفق عليه)
Artinya : “Dari
Ibn Umar r.a bahwa Rosulullah saw bersabda : “Apabila dua orang melakukan jual
beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan
meneruskan jual beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama, atau
selama salah seorang di antara keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang
lainnya. Jika salah seorang menentukan khiyar kepada yang lain, lalu mereka
jual beli atas dasar itu, maka jadilah jual beli itu.” (HR. Muttafaq
‘alaih)
1.3 Hukum Jual-beli
Secara asalnya, jual beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau
dibolehkan. Sebagaimana ungkapan al-Imam Asy-Syafi’I rohimahullah : dasarnya
hukum jual beli itu seluruhnya adalah
mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari dua belah pihak. Kecuali apabila
jual beli itu dilarang oleh Rosulullah saw atau yang maknanya termasuk yang
dilarang beliau.
1.4 Rukun Jual-beli
Sebuah transaksi jual beli membutuhkan adanya rukun sebagai
penegaknya. Dimana tanpa adanya rukun, maka jual beli itu menjadi tidak sah
hukumnya. Rukun jual beli ada tiga perkara, yaitu :
·
Adanya pelaku yaitu penjual dan
pembeli yang memenuhi syarat,
·
Adanya akad atau transaksi, dan
·
Adanya barang atau jasa yang
diperjual belikan.
a.
Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah
memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan transaksi muamalah. Dan ahliyah iru
berupa keadaan pelaku yang harus berakal dan baligh. Dengan rukun ini maka jual
beli tidak memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila
atau tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk orang yang
kurang akalnya (idiot).
Sebagai mana
dibolehkan jual beli dengan bantuan anak kecil sabagai utusan, tapi bukan
sebagai penentu jual beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk
membelikan suatu benda di sebuah took, jual beli itu sah karena pada dasarnya
yang menjadi pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah
utusan atau suruhan saja.
b.
Adanya Akad dan Transaksi
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam
jual-beli. Akad itu seperti : “aku jual barang ini kepada anda dengan hargaRp.
10.000,” lalu pembeli menjawab : “aku terima.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang
diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang
rendah nilainya. Namun, ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan system mu’athaah
( معاطاه) yaitu kesepakatan antara
penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
c.
Adanya barang atau jasa yang
diperjual-belikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang
diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan
itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli
menjadi sah secara syari’ah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu :
1.
Suci
Benda yang diperjual-belikan harus benda yang suci dalam artian
bukan benda najis atau mengandung najis. Diantara benda najis yang disepakati
para ulama antara lain bangkai, darah, daging babi, khamr, nanah, kotoran
manusia, kotoran hewan, dan lainnya.
Dasarnya adalah sabda Rosulullah saw :
عن جابربن عبد الله رضي الله عنه أنه سمع رسول الله يقول عام الفتح وهو
بمكة : إن الله ورسوله حرم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام
Artinya
: Dari Jabir Ibn Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rosulullah saw. bersabda di
Makkah pada tahun penaklukan kota itu : “Sesungguhnya Allah dan Rosul-Nya
melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala.”(HR. Muttafaq ‘Alaih)
2.
Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum dan
layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu
yang membahayakan atau merugikan manusia. Oleh karena itu, para ulama
As-Syafi’I menolak jual-beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat,
seperti kalajengking, ular, atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala,
macan, burung gagak, dan lain sebagainya.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang
disebut dengan alatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan
orang dari dzikrullah, seperti alat music. Dengan syarat bila setelah dirusak
tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jual-beli alat music itu bathil.
Karena alat music itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam
pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfaatkan alat music kecuali ahli
maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab, dan lainnya.
3.
Dimiliki oleh penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda,
kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau wakil. Yang dimaksud
menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak
kecil, baik yatim maupun bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi
atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil
adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya
kepada pihak lain. Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini.
Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi, dimana barang
yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik
barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang
bukan wali atau wakil, maka transaksi itu bathil. Karena pada hakikatnya dia
bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah :
“Tidak sah sebuah talak itu kecuali
dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan
budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah
sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual.
Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak
berkewajiban atasnya.”(HR. Tirmidzi – hadits hasan)
Walaupun banyak yang mengkritik bahwa
periwayatan hadits ini lemah, namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi
shahih.
Dalam pendapat Qadimnya, Al-Imam
Asy-Syafi’I membolehkan jual-beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi
hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya.
Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali
atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu tidak setuju, maka jual beli itu
menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah
dianggap sah. Dalilnya dari hadits berikut :
‘Urwah ra. Berkata, “Rosulullah saw
memberi aku uang satu dinar untuk membelikan beliau seekor kambing. Namun aku
belikan untuknya dua ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga
satu dinar. Lalu aku menghadap Rosulullah saw dengan seekor kambing dan uang
satu dinar sambil aku ceritakan kisahku.” Beliau pun bersabda, “semoga Allah
memberkatimu dalam perjanjianmu.” (HR. Tirmidzi dengan sanad yang sahih).
4.
Bisa diserahkan
Menjual unta yang hilang termasuk akad yang tida sah, karena tidak
jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak. Demikian juga tidak sah
menjual burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan,
baik secara fisik maupun secara hukum.
Demikian juga ikan-ikan yang berenang
bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali setela ditangkap atau bisa
dipastikan penyerahannya.
5.
Harus diketahui keadaannya
Barang yang tidak diketahui
keadaannya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah
pihak mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya.
Dari segi kualitasnya, barang itu
harus dilihat meski hanya sample oleh penjual dan pembeli sebelum akad
jual-beli dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung. Dari segi
kuantitas, barang itu harus bisa ditetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau
panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di
masanya.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan
agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar.
Demikian pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan
peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang
diberikan.
Di masa modern dan dunia industry,
umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel dari pabrik. Tujuannya
antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara
ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk
mengetahui kadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa
teknik, misalnya :
·
Dengan membuat daftar
spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan
tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya
konsumsi listrik dan lain sebagainya,
·
Dengan membuka bungkus contoh
barang yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang,
·
Garansi yang memastikan pembeli
terpuaskan bila mengalami masalah.
2. RIBA
2.1 Pengertian Riba
Secara bahasa riba berarti
tambahan (ziyadah). Dan secara istilah berarti tambahan pada harta yang
disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara
harta dengan harta. Sebagian ulama ada yang menyandarkan definisi riba pada
hadits yang diriwayatkan al-Harits bin Usamah.
Dari Ali bin Abi Thalib,
yaitu bahwa Rasulullah saw bersabda : “Setiap hutang yang menimbulkan manfaat adalah
riba.”
Pendapat ini tidak tepat,
karena hadits ini sanadnya lemah sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Jumhur
ulama tidak menjadikan hadits ini sebagai definisi riba, karena tidak
menyeluruh dan tidak lengkap, disamping itu ada manfaat yang bukan riba yaitu
jika pemberian tambahan atas hutang tersebut tidak disyaratkan.
2.2 Hukum Riba
Riba memiliki sejarah yang
sangat panjang dan prakteknya sudah dimulai semenjak bangsa yahudi sampai masa
jahiliyah sebelum islam dan awal-awal masa ke-islaman. Padahal semua agama
Samawi mengharamkan riba karena tidak ada kemaslahatan sedikit pun dalam
kehidupan bermasyarakat. Allah swt berfirman :
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rß$yd $oYøB§ym öNÍkön=tã BM»t7ÍhsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZÏWx. ÇÊÏÉÈ ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJÏ9r& ÇÊÏÊÈ
Artinya : “Maka disebabkan
kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”(QS. An-Nissa’ :
160-161)
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 ..
Artinya : “Orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengaramkan riba.”(QS. Al-Baqoroh : 275)
Hadits Nabi saw :
عن عبد الله بن حنظلة غسيل الملائكة قال : قال رسول
الله صلي الله عليه وسلم درهم ربا يأكله الرجل وهو يعلم أشد من ست وثلاثين زينة
(رواه احمد)
Artinya : Dari Abdullah
bin Hanzhalah ghosilul malaikah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Satu
dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan sadar, jauh lebih
dahsyah dari pada 36 wanita pezina.”(HR. Ahmad)
Jadi, berdasarkan Firman
Allah swt dan hadits, maka riba hukumnya haram.
2.3 Macam-macam Riba
Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba al-Fadhl dan riba
an-Nasa’. Sedangkan Imam as-Syafi’i membaginya menjadi tiga, yaitu riba
al-Fadhl, riba an-Nasa’ dan riba al-Yadd. Dan al-Mutawally menambahkan jenis
ke-empat, yaitu riba al-Qardh. Semua jenis riba ini diharamkan secara ijma’
berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Secara garis besar bisa
dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi
lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok yang kedua,
yaitu riba jual-beli, terbagi menjadi riba Fadhl dan riba Nasi’ah.
a. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap
yang berhutang (muqtaridh).
b. Riba Jahiliyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
c. Riba Fadhl
Riba Fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar
menukar benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda. Dan jenis barang yang
dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang.
Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan barang ribawi.
Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits
nabawi, hanya terbatas emas, perak, gandum, terigu, kurma, dan garam saja.
Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : “Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu,
kurma dengan kurma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika
jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai.”(HR. Muslim)
Di luar ke-enam jenis barang tersebut tentu boleh terjadi penukaran
barang sejenis dengan kadar dan kualitas yang berbeda. Apalagi bila barang itu
berlainan jenisnya, tentu lebih boleh lagi.
d. Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah disebut juga riba jahiliyah. Nasi’ah berasal dari kata
nasa’ yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya
penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang
ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak lain dengan
ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya, melainkan
juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi’ah muncul karena
adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini
dengan yang diserahkan kemudian.
Contoh, Ahmad ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada
bank sebesar 144 juta dengan bunga 13 % pertahun. Sistem peminjaman seperti
ini, yaitu dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya. Maka transaksi ini
adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syari’at islam.
3. ROHN
3.1 Pengertian Rohn
Secara bahasa, rohn atau
gadai berasal dari kata ats-tsubutu yang berarti tetap dan ad-dawamu yang
berarti terus menerus. Sehingga air yang diam tidak mengalir dikatakan sebagi
maun rohin. Pengertian secara bahasa tentang rohn ini juga terdapat dalam
firman Allah swt :
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ
Artinya : “Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”(QS. Al-Muddatstsir : 38)
Adapun pengertian rohn
atau gadai dalam ilmu fiqh adalah “menyimpan sementara harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh berpiutang (yang
meminjamkan)”. Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil
kembali dalam jangka waktu tertentu.
3.2 Unsur Rohn
Dalam praktek rohn, ada
terdapat beberapa unsur :
a. Ar-Rohin, yaitu orang yang
menggadaikan barang atau yang meminjam uang dengan jaminan barang.
b. Al-Murtahin, yaitu orang
yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
c. Al-Marhun atau Ar-Rohn,
yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.
d. Al-Marhun bihi, yaitu uang
dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.
e. Al-Aqdu, yaitu akad atau
kesepakatan untuk melakukan transaksi rohn.
3.3 Rukun Rohn
Rukun rohn ada empat :
a. Adanya lafadz, yaitu
pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafadz dapat saja dilakukan secara tertulis
maupun lisan, yang penting didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai
diantara para pihak.
b. Adanya pemberi dan
penerima gadai, pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan
baligh sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum
sesuai dengan ketentuan syari’at islam.
c. Adanya barang yang
digadaikan, barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian
gadai barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian
berada dibawah pengawasan penerima gadai.
d. Adanya hutang, hutang yang
terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau
mengandung unsur riba.
4. IJAROH
4.1 Hukum Ijaroh
Para fuqoha telah
bersepakat tentang kebolehan hukum ijaroh ini dengan beberapa dalil dari
Al-Qur’an dan juga dari sunnah nabawiyah. Namun sebagian kecil ulama ada juga
yang mengharamkannya dengan beberapa alasan, diantara mereka misalnya Hasan
Al-Basri, Abu Bakar Al-Asham, Ismail bin Aliyah, Ibn Kisan, dan lainnya.
Namun hajat semua orang
yang sangat membutuhkan manfaat suatu benda, membuat akad ijaroh ini menjadi
boleh. Sebab tidak semua orang bisa memiliki suatu benda, namun sudah pasti
tiap orang butuh manfaat benda itu. Maka ijaroh dibolehkan, selain memang Allah
swt telah memastikan kebolehan transaksi ijaroh, sebagaimana sejumlah
keterangan dari Al-Qur’an dab As-Sunnah sebagai berikut :
÷bÎ)ur.... öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
Artinya : “Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Baqoroh :
233)
Dari Hadits Nabi :
عن بن عباس رضي الله عنه قال :
إجتحم رسول الله صلى الله عليه وسلم وأعطى الذي حجمه أجره (رواه البخاري)
Artinya : “Dari Ibn ‘Abbas
ra berkata bahwa Rasulullah saw melakukan hijamah (berbekam) dan memberikan
orang yang melakukannya upah atas kerjanya.”(HR. Bukhari)
4.2 Rukun Ijaroh
Jumhur ulama menetapkan
bahwa sebuah akad ijaroh itu setidaknya harus mengandung empat unsur yang
menjadi rukun. Dimana bila salah satu rukun itu kurang atau tidak terpenuhi
maka akad itu menjadi cacat atau tidak sah. Ke-empat rukun tersebut adalah :
a. Al-Aqidani (dua belah
pihak), yang dimaksud adalah pihak yang menyewa atau musta’jir dan pihak yang
menyewa atau muajjir. Keduanya adalah inti dari akad ini yang bila salah satunya
tidak ada, misalnya tidak ada yang menyewa atau tidak ada yang menyewakan,
tentu tidak bisa dikatakan akad sewa-menyewa.
b. Shighat
c. Pembayaran
d. Manfaat
4.3 Objek Ijaroh
Ijaroh itu
merupakan sebuah transaksi atau suatu manfaat. Dalam hal ini, manfaat menjadi
objek transaksi. Dari segi ini, ijaroh dapat dibedakan menjadi dua macam.
Pertama, ijaroh yang mentransaksikan manfaat harta benda yang lazim yang
disebut dengan persewaan. Misalnya, sewa-menyewa rumah, kendaraan, toko, dan
lainnya. Kedua, ijaroh yang mentransaksikan manfaat SDM yang lazim yang disebut
dengan perburuhan.
Tidak semua benda boleh
diijarohkan, kecuali bila memenuhi syarat-syarat berikut ini :
a. Manfaat objek akad harus
diketahui dengan jelas.
b. Objek ijaroh dapat
diserah-terimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat
yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijaroh atas harta benda
yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.
c. Objek ijaroh dan
pemanfaatannya harus tidak bertentangan dengan syariat.
d. Yang disewakan adalah
manfaat langsung dari sebuah benda. Misalnya, menyewa motor untuk dikendarai.
Tetapi sebaliknya, menyewa suatu benda untuk diambil hasil turunan dari benda
tersebut tidak dibenarkan secara syariah. Misalnya, menyewa pohon untuk diambil
buahnya.
e. Harta benda yang menjadi
objek ijaroh haruslah harta benda yang bersifat isti’mali, yakni harta benda
yang dapat dimanfaatkan berulang-ulang tanpa mengakibatkan kerusakan dan
pengurangan sifatnya. Misalnya, menyewa tanah, menyewa kebun, mobil, dan
lainnya. Sedangkan benda yang bersifat istihlaki atau benda yang rusak atau
berkurang sifatnya karena pemakainnya, seperti minuman, makanan, atau buku
tulis, tidak boleh disewakan.
Adapun ijaroh yang
mentransaksikan suatu pekerjaan atas seorang pekerja atau buruh, harus memenuhi
beberapa persyaratan sebagai berikut :
a. Perbuatan tersebut harus
jelas batas waktu pekerjaannya, misalnya bekerja menjaga rumah satu malam. Dan
harus jelas jenis pekerjaannya, seperti pekerjaan menjahit baju, memasak,
mencuci, dan lain sebagainya. Dalam hal yang disebutkan terakhir ini tidak
disyaratkan adanya batas waktu pengerjaannya.
b. Pekerjaan yang menjadi
objek ijaroh tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak pekerja
sebelum berlangsungnya akad ijaroh. Misalnya, membayar hutang.
Dari segi uang atau ongkos
sewa, ijaroh harus memenuhi syarat berikut :
a. Upah harus berupa mal
mutaqawim, yaitu harta yang halal untuk dimanfaatkan. Dan besarnya harus
disepakati secara jelas oleh kedua belah pihak. Sedangkan mempekerjakan buruh
dengan upah makan merupakan contoh upah yang tidak jelas, karena mengandung
unsur jahalah (ketidak-pastian). Ijaroh tersebut menurut jumhur ulama selain Al-Malikiyah,
adalah tidak sah. Sedangkan fuqoha Al-Malikiyah menetapkan keabsahan ijaroh
tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksud dapat diketahui berdasarkan
kebiasaan.
b. Upah itu harus berbeda
dengan objek pekerjaan. Menyewa rumah dengan rumah lainnya, atau mengupah suatu
pekerjaan dengan pekerjaan serupa, merupakan ijaroh yang tidak memenuhi syarat.
Karena hukumnya tidak sah, karena dapat mengantarkan kepada riba.
5. SALAM
5.1 Pengertian Salam
Istilah salam sering juga
disebut dengan salaf. Di kebanyakan hadits nabawi, istilah yang nampaknya lebih
banyak digunakan adalah salaf. Namun dalam kitab fiqh lebih sering digunakan
salam.
Secara bahasa, salam
adalah al-i’tha’ dan at-taslif. Keduanya bermakna pemberian.
Sedangkan secara istilah
syariah, akad salam sering didefinisikan oleh para fuqoha secara umumnya
menjadi (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى
عاجلا) jual
beli barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan
(pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Dengan bahasa yang mudah,
akad salam itu pada hakikatnya adalah jual-beli dengan hutang. Tapi bedanya,
yang dihutang bukan uang pembayaran, melainkan barangnya. Sedangkan untuk
pembayarannya justru diserahkan tunai. Jadi akad salam ini kebalikan dari
kredit. Kalau jual-beli kredit, barangnya diserahkan terlebih dahulu dan uang
pembayarannya jadi hutang. Sedangkan akad salam, uangnya diserahkan terlebih
dahulu sedangkan barangnya belum diserahkan dan menjadi hutang.
5.2 Pendapat Ulama tentang
Salam
Ada beberapa pendapat
menurut para ulama madzhab sesuai dengan syarat yang mereka ajukan. Setidaknya
ada tiga pendapat :
a. Pendapat Pertama
Menurut pendapat pertama, akad salam merupakan jual-beli yang uangnya
dibayarkan sekarang sedangkan barangnya diserahkan kemudian.
Madzhab Hanafi dan Hambali yang diwakili oleh Ibnu “Abidin menyebutkan
bahwa salam adalah (شراء اجل بعاجل), membeli sesuatu yang diberikan kemudian dengan pembayaran
sekarang.
Maksudnya, salam adalah membeli sesuatu yang diserahkannya bukan saat
akad dilangsungkan tetapi diserahkan kemudian. Ini menjadi syarat dari akad
salam. Namun mereka menetapkan bahwa pembayarannya harus dilakukan saat itu
juga, yakni saat akad dilangsungkan.
b. Pendapat Kedua
Adapun madzhab Asy-Syafi’i, tidak mensyaratkan penyerahan sesuatu yang
diperjual-belikan itu di kemudian hari atau saat itu juga. Yang lebih penting
menurut mereka, penyerahan uang pembayarannya dilakukan saat akad. Pendapat
kedua ini hanya mensyaratkan penyerahan uangnya yang harus saat akad. Adapun
barangnya boleh langsung diserahkan ataupun bisa juga diserahkan kemudian.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin, Al-Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa
akad salam itu adalah (عقد على موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا). Maksudnya, salam adalah sebuah akad atas
suatu benda yang disebutkan sifatya dalam tanggungan dengan imbalan yang
dilakukan pada saat itu juga. Dalam definisi ini tidak ada ketentuan bahwa
barang itu harus diserahkan kemudian atau saat itu juga.
c. Pendapat Ketiga
Sedangkan pendapat yang ketiga ini mensyaratkan barangnya diserahkan
kemudian, bukan saat akad, sedangkan uangnya tidak disyaratkan harus diserahkan
saat itu juga. Jadi intinya uang pembayarannya boleh diserahkan saat akad itu
dilangsungkan atau pun boleh juga diserahkan kemudian.
Pendapat yang ketiga ini dikemukakan oleh madzhab Maliki sebagaimana
tertera dalam kitab Idhahul Masalik Ila Al-Qowa’id Al-Imam Malik. Dalam
kitab itu disebutkan bahwa :
بيع معلوم فى الذمة محصور بالصفة بعين حاضرة أو ما هو
فى حكمها إلى أجل معلوم
Jual-beli
barang yang diketahui dalam tanggungan yang sifatnya ditentukan, dengan
pembayaran yang hadir (saat itu juga) atau dengan pembayaran yang berada dalam
hukumnya, hingga waktu yang diketahui.
Penyebutan
kalimat “dengan pembayaran yang berada dalam hukumnya”, mengisyaratkan tidak
diharuskan pembayaran itu dilakukan saat akad, tetapi dibenarkan bila
diserahkan 2 atau 3 hari kemudian setelah akad berlangsung.
Penyebutan
kalimat “hingga waktu yang diketahui”, mengisyaratkan keharusan penyerahan
barangnya bukan saat akad tetapi diserahkan di kemudian hari.
6. ISTISHNA’
6.1 Pengertian Istishna’
Istishna’ (استسناع) adalah bentuk isim masdhar dari kata dasar istishna’a-yastashni’u
(استسنع-يستسنع) artinya
meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Sedangkan menurut
sebagian kalangan ulama dari madzhab Hanafi, istishna’ adalah (عقد على مبيع فى الذمة شرط فيه العمل). Artinya,
sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakannya.
Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam
membuat sesuatu, “Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham.” Dan
orang itu menerimanya, maka akad istishna’ telah terjadi dalam pandangan
madzhab ini.
Senada dengan definisi di
atas, kalangan ulama madzhab Hambali menyebutkan (بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم). Maknanya
adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad
salam. Dalam hal ini akad istishna’ mereka samakan dengan jual-beli dengan
pembuatan (بيع بالصنعة).
Namun kalangan
Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengaitkan akad istishna’ ini dengan akad
salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu (الشئ المسلم للغير من الصناعات), yaitu suatu barang yang diserahkan
kepada orang lain dengan cara membuatnya.
Jadi secara sederhana,
istishna’ boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesanan sebagai
pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak
ke-2, agar pihak kedua membuatkan suatu barang yang sesuai dengan keinginan
pihak ke-1 dengan harga yang telah disepakati oleh keduanya.
6.2 Rukun Istishna’
Akad istishna’ memiliki 3
rukun yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar terjadi :
a. Kedua Belah Pihak
Kedua belah pihak maksudnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan
dengan mustashni’ (المستسسنع) sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang
dimintakan kepadanya pengadaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang
diistilahkan shani’ (الصانع).
b. Barang Yang Diakadkan
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang kedua dalam akad ini.
Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau
barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan
madzhab Al-Hanafi.
Namun menurut sebagian kalangan madzhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu
barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan
sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa
bukan barang.
c. Shighah (Ijab Qobul)
Ijab
qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang
meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan
tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan
persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar