BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ulumul Qur’an memiliki ruang lingkup yang cukup luas.
Diantara pembahasan-pembahasan ulumul qur’an yang sampai saat ini masih banyak
diperdebatkan oleh banyak kalangan adalah pembahasan tentang muhkam-mutasyabih.
Hal yang melatar belakangi adanya muhkam-mutasyabih
adalah ayat Al-Qur’an sendiri yang menyatakan bahwa di dalamnya terkandung dua
jenis ayat yang keduanya merupakan bagian terpenting dalam kitab suci Al-Qur’an
tersebut, dan keduanya harus diterima sepenuhnya tanpa pilih-pilih.
Mengenai hal tersebut, Ibn Habib An-Naisaburi pernah
mengemukakan tiga pendapat mengenai muhkam-mutasyabih.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
الرٰ كِتٰبٌ أُحْكِمَتْ أٰيٰتُهُ، ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَّدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍ (هود : ۱)
Artinya :
“Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab
yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.” (Q.S Hud [11] : 1)
Kedua, pendapat yang
mengatakan bahwa, seluruh ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih. Berdasarkan
firman Allah dalam Q.S Az-Zumar ayat 23.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اللّٰهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتٰبًا مُّتَشٰبِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ إِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ ذٰلِكَ هُدَى اللّٰهِ يَهْدِى بِهِ مَنْ يَّشَاءُ وَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَمَا لَهُ، مِنْ هَادٍ (الزمر: ۲۳)
Artinya :
“Allah Telah menurunkan perkataan yang paling
baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang,
gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian
menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk
Allah, dengan Kitab itu dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan
barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun”.
(Q.S Az-Zumar [39] ; (23))
Ketiga, pendapat yang
paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian yaitu muhkam
dan mutasyabih. Berdasarkan firman Allah dalam Q.S Ali ‘Imron ayat 7.
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»t#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷y tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#Írù's? 3 $tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# (ال عمران : ۷)
Artinya :
“Dia-lah yang menurunkan
Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat[184]. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Q.S Ali
‘Imron [3] : 7)
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan
masalah makalah ini mencakup beberapa permasalahan dari Ilmu Ulumul Qur’an
yaitu sebagai berikut :
Ø Apa
definisi dari ayat-ayat muhkam-mutasyabih ?
Ø Bagaimana
para ulama mendefinisikan muhkam-mutasyabih ?
Ø Bagaimana
sikap para ulama terhadap ayat-ayat muhkam-mutasyabih ?
Ø Apa
hikmah di balik adanya ayat muhkam-mutasyabih dalam Al-Qur’an ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Muhkam-Mutasyabih
Menurut etimologi (bahasa) muhkam artinya suatu
ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Adapun mutasyabih
adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar.
2.2 Definisi
Muhkam-Mutasyabih Menurut Para Ulama
1. Menurut
Ulama Ahlussunnah
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang
maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil (metafora)
ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya
hanya dapat diketahui oleh Alla, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya
dajjal, dan huruf-huruf muqotho’ah.
2. Menurut
Ibn ‘Abbas
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang
tidak memunculkan kemungkinan sisi arti lain. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih
mempunyai kemungkinan sisi arti banyak.
3. Menurut
Al-Mawardi
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang
maknanya dapat dipahami akal, seperti bilangan rakaat shalat, kekhususan bulan
ramadhan untuk pelaksanaan puasa wajib. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya.
4. Menurut
Ibn Abi Hatim
Ø Riwayat
dari ‘Ali bin Abi Thalib dari Ibn ‘Abbas yang mengatakan bahwa, ayat-ayat muhkam
adalah ayat yang menghapus (nasikh), berbicara tentang halal-haram,
ketentuan-ketentuan (hudud), kefarduan, serta yang harus diimani dan diamalkan.
Adapun ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus (mansukh), yang
berbicara tentang perumpamaan-perumpamaan (amtsal), sumpah (aqsam), dan yang
harus diimani tetapi tidak harus diamalkan.
Ø Riwayat
dari Muqatil bin Hayyan yang mengatakan bahwa, ayat-ayat mutasyabih seperti
alif lam mim, alif lam ra’, dan alif lam mim ra’.
Ø Ibn
Abi Hatim juga mengatakan bahwa ‘Ikrimah (w. 105 H), Qatadah bin Du’amah (w.
117 H), dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat
yang harus diimani dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah
ayat yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
5. Menurut
‘Abdullah bin Hamid
‘Abdullah bin Hamid mengeluarkan sebuah
riwayat dari Adh-Dhahak bin Al-Muzahim (w. 105 H) yang mengatakan bahwa
ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak dihapus. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih
adalah ayat yang dihapus.
Melihat pengertian para ulama
diatas, dapatlah disimpulkan bahwa inti muhkam adalah ayat-ayat yang
maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Masuk dalam kategori muhkam adalah
nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas, dan
untuk makna itu ia disebutkan). Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas. Masuk dalam kategori mutasyabih ini adalah mujmal
(global), mu’awwal (harus ditakwil).
2.3 Sikap Para Ulama
Terhadap Aya-ayat Muhkam-Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti
ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui pula oleh manusia, atau hanya Allah
saja yang mengetahuinya. Pangkal perbedaan pendapat tersebut bersumber dari
cara mereka memahami struktur kalimat ayat berikut.
…
$tBur
ãNn=÷èt
ÿ¼ã&s#Írù's?
wÎ)
ª!$#
3
tbqãź§9$#ur
Îû
ÉOù=Ïèø9$#
tbqä9qà)t
$¨ZtB#uä
¾ÏmÎ/ …(ال عمران : ۷)
Artinya :
“…padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabih….” (Q.S. Ali
‘Imron [3] : 7)
Yang pertama, apakah
ungkapan والرسخون في العلم di ‘athofkan pada lafadz Allah,
sementara lafadz يقولون sebagai khal. Ini artinya
bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui oleh orang-orang yang mendalam
ilmunya.
Yang kedua, apakah
ungkapan والرسخون في العلم sebagai mubtada’, sedangkan lafadz يقولون sebagai khabar. Ini berarti
bahwa ayat-ayat mutasyabih itu hanya diketahui oleh Allah, sedangkan
orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.
Sehubungan dengan hal
tersebut, ada sedikit ulama yang berpihak pada penjelasan gramatikal pertama,
diantaranya adalah Mujahid (w. 104 H) yang diperolehnya dari Ibn ‘Abbas. Ibn
Al-Mundzir mengeluarkan sebuah riwayat dari Mujahid dari Ibn ‘Abbas mengenai
surat Ali ‘Imron [3] ayat 7 itu. Ibn ‘Abbas lalu berkata, “aku diantara
orang-orang yang mengetahui takwilnya.” Imam An-Nawawi pun termasuk dalam
kelompok ini. Di dalam syarah muslim, ia berkata , “pendapat inilah yang paling
sahih karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hamba-Nya dengan uraian yang
tidak ada jalan untuk mengetahuinya.” Ulama lain yang masuk kedalam kelompok
ini adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Ishak Asy-Syirazi (w. 476 H).
Asy-Syirazi berkata, “tidak ada satu ayat pun yang maksudnya hanya diketahui
Allah. Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya
mereka dengan orang awam.”
Sebagian besar sahabat,
tabi’in dan generasi sesudahnya,
terutama kalangan ahlussunnah, berpihak pada penjelasan gramatikal yang kedua.
As-Suyuthi mengatakan bahwa validitas pendapat yang kedua diperkuat dengan
riwayat-riwayat berikut ini :
1.
Dalam
Al-Mashahif, Ibn Abu Dawud mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-‘Amasy. Ia
menyebutkan bahwa diantara qiro’at Ibn Mas’ud disebutkan :
وإنّ تأويله إلا عند الله والرّاسخون
في العلم يقولون امنّا به.
Artinya : “sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya
milik Allah semata, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih.”
2.
Iman
Bukhori dan Imam Muslim, serta yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari
‘Aisyah yang mengatakan bahwa Rosulullah SAW pernah bersabda ketika
mengomentari surat Ali ‘Imron ayat 7 tersebut.
فإذا رأيت الّذين يتّبعون ما تشابه منه فأولئك الّذين سمّى الله فاحذرهم.
Artinya : “jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah
yang dicela Allah, maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”
3.
Dalam
Al-Kabir, Ath-Thabrani mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Malik Al-Asy’ari.
Ia pernah mendengar Rosulullah SAW bersabda :
لا أخاف على أمّتي إلا ثلاث خصال : إن يكثر لهم المال فيتحاسدوا فيقتتلوا
وأن يفتح لهم الكتاب فيأخذه المؤمن يبتغي تأويله , وما يعلم تأويله إلا الله ....
Artinya : “Aku tidak menghawatirkan dari ummatku melainkan tiga hal,
yaitu, menumpuk-numpuk harta sehingga memunculkan sifat hasad dan menyebabkan
terjadinya pembunuhan. Kedua, mencari-cari takwil ayat-ayat mutasyabih, padahal
hanya Allah-lah yang mengetahuinya……”
4.
Ad-Darimi
dalam musnadnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yassar yang
menyatakan bahwa seorang pria bernama Shabigh tiba di Madinah. Di sana ia
bertanya-tanya tentang takwil ayat-ayat mutasyabih. Ia lalu
diperintahkan menemui ‘Umar. Ketika orang itu menemuinya, ‘Umar sedang memasang
tangga ke pohon kurma. “siapakah engkau?” Tanya ‘Umar. “saya adalah ‘Abdullah
bin Shabigh.” ‘Umar lalu memukul orang itu dengan beberapa kayu dari tangga
sehingga kepala orang itu berdarah. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ‘Umar
memukul orang itu dengan cambuk sehingga meninggalkan bekas pada punggungnya.
Sehubungan dengan
perbedaan tersebut, Ar-Raghif Al-Asfahani mengambil jalan tengah dalam
menghadapi persoalan ini. Ia membagi ayat-ayat mutasyabih dari segi
kemungkinan mengetahui maknanya, dengan tiga bagian :
1.
Bagian
yang tidak ada jalan sama sekali untuk mengetahui takwil dari ayat mutasyabih.
Seperti saat terjadinya hari kiamat, keluarnya binatang dari bumi, dan sejenisnya.
2.
Bagian
yang menyebabkan manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahui takwil dari
ayat mutasyabih. Seperti kata-kata asing di dalam Al-Qur’an.
3.
Bagian
yang terletak di antara keduanya, yakni yang hanya diketahui orang-orang yang
mendalam ilmunya.
Inilah yang diisyaratkan sabda Nabi kepada Ibn ‘Abbas :
اللّهمّ فقّهه في الدّين وعلّمه التّأويل.
Artinya : “Ya Allah, berilah pemahaman kepadanya dalam bidang agama dan
ajarkanlah takwil kepadanya.”
Diantara ayat-ayat mutasyabih
adalah ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah.
Contoh :
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$#. (طه : ٥ )
Artinya : “(Yaitu) Tuhan
Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Q.S. Thaha [20]:5)
… @ä. >äóÓx« î7Ï9$yd wÎ) çmygô_ur … (القصص : ٨٨ )
Artinya : “Tiap-tiap
sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (Q.S. Al-Qashshash [28]:88)
4s+ö7tur çmô_ur y7În/u rè È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur (الرحمن
: ٢٧ )
Artinya : “Dan tetap
kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Ar-Rahman
[55]:27)
... ßt «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& 4 …(الفتح : ١٠
)
Artinya : “Tangan Allah
di atas tangan mereka.” (Q.S. Al-Fath [48]:10)
uä!%y`ur y7/u à7n=yJø9$#ur $yÿ|¹ $yÿ|¹ (الفجر : ٢٢ )
Artinya : “Dan datanglah
Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris.” (Q.S. Al-Fajr [89]:22)
Dan lain sebagainya.
Sikap ulama terhadap
ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
1.
Ulama
Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan
menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri. Mereka menyucikan Allah dari
pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya
sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an. Di antara ulama yang masuk dalam
kelompok ini adalah Imam Malik.
Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa madzhab salaf ini dianut oleh generasi
dan para pemuka umat islam pertama. Madzhab ini pulalah yang dipilih imam-imam
dan para pemuka fiqh. Kepada madzhab ini pulalah para imam dan pemuka hadits
mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorang pun diantara para teolog dari
kalangan kami yang menolak madzhab ini.
2.
Ulama
Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih
yang menyangkut sifat Allah, sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan
keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama muta akhirin.
Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan Allah dari pengertian lahir
ayat-ayat mutasyabih itu, mengimani hal-hal ghaib sebagaimana dituturkan
Al-Qur’an, dan menyerahkan bulat-bulat pengertian ayat itu kepada Allah, maka
ulama khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih itu.
Kedatangan Allah ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya. Allah berada diatas
hamba-Nya menunjukkan keMaha Tinggian Allah, bukan menunjukkan Allah menempati
suatu tempat. Sisi Allah ditakwilkan dengan hak Allah. Wajah dan Mata Allah
ditakwilkan dengan pengawasan-Nya, Tangan ditakwilkan dengan kekuasaan-Nya.
Demikianlah prinsip penafsiran ulama khalaf.
Untuk menengahi kedua
madzhab yang kontradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-‘Id mengatakan bahwa apabila
penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh
lisan arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan
arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf. Dan mengimani maknanya yang sesuai
apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah. Namun bila arti
lahir ayat-ayat itu dapat dipahami melalui percakapan orang arab, kita tidak
perlu mengambil sikap tawaqquf. Contohnya adalah Q.S. Az-Zumar [39] ayat 56
yang kami maknai dengan hak dan kewajiban Allah.
Ibn Qutaibah (w. 276 H)
menentukan dua syarat bagi absyahnya sebuah penakwilan. Pertama, makna yang
dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki
otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bangsa arab klasik. Syarat yang
dikemukakan ini lebih longgar dari pada syarat kelompok Azh-Zhahiriyah yang
menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara popular oleh
masyarakat arab pada masa awal.
2.4
Hikmah
di balik Ayat-ayat Mutasyabih
Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam Al-Qur’an dan
ketidakmampuan akal untuk mengetahui adalah sebagai berikut :
1.
Memperlihatkan
kelemahan akal manusia
Akal
sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah
SWT. memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota
badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan
tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri
kehambaannya.
Ayat-ayat
mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah SWT. karena
kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih
itu
2.
Teguran
bagi orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih
Pada
penghujung surat Ali-Imran ayat 7, Allah SWT. menyebutkan wa ma yadazdakkaru
illa ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengotak-atil
ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang
mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk
mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzigh
qulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharafkan ilmu
laduni.
3.
Memberikan
pemahaman abstrak-ilahiyah kepada manusia melalui pengamalan inderawi yang
biasa disaksikannya
Sebagaimana
dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran inderawi
terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan
gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenali sifat-sifat-Nya. Bersamaan
dengan itu, Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam
hal pemilikan anggota badan.
4.
BAB III
KESIMPULAN
Ø
Ayat muhkam adalah ayat yang yang
maknanya sudah jelas, tidak samar lagi.
Ø
Ayat mutasyabih adalah ayat yang
maknanya belum jelas.
Ø
Para ulama banyak yang mendefinisikan
ayat muhkam dan ayat mutasyabih, tapi pada dasarnya, pengertian dari para ulama
tersebut adalah sama.
Ø
Para ulama berbeda pendapat tentang
apakah ayat mutasyabih itu diketahui oleh Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya,
atau hanya Allah saja yang mengetahuinya sedangkan orang-orang yang mendalam
ilmunya hanya mengimaninya.
Ø Hikmah adanya ayat mutasyabih adalah :
1.
Memperlihatkan
kelemahan akal manusia,
2.
Teguran
bagi orang yang mengutak-atik ayat mutasyabih, dan
3.
Memberikan
pemahaman abstrak-ilahiyah kepada manusia melalui pengamalan inderawi yang
biasa disaksikannya
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. Rosihon Anwar, Ulumul
Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar